My Family

My Family
Palembang, Mei 2013

Jumat, 18 September 2009

Daftar Nilai UAS KMMB I D IV KMB Jurusan Keperawatan Poltekkes Palembang 2009

Berikut hasil Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Keperawatan Mahir Medikal Bedah I (KMMB I) yang dilaksanakan pada tgl. 16 September 2009, dengan TIM terdiri dari:
1. Ira Kusumawaty, S.Kp.,M.Kes.,MPH
2. Lukman, S.Kep.,Ns.,MM
3. Sukma Wicaturatmashudi, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB
4. Sumitro Adi Putra, S.Kep.,Ns
5. Herawati Jaya, S.Kep.,Ns
6. Shanti Sherlianti, S.Kp
 

NO

NIM

NILAI]*

1

PO.71.20.4.09.009.MB

55

2

PO.71.20.4.09.004.MB

48

3

PO.71.20.4.09.013.MB

46

4

PO.71.20.4.09.016.MB

43

5

PO.71.20.4.09.014.MB

42

6

PO.71.20.4.09.019.MB

42

7

PO.71.20.4.09.002.MB

41

8

PO.71.20.4.09.003.MB

39

9

PO.71.20.4.09.006.MB

39

10

PO.71.20.4.09.011.MB

38

11

PO.71.20.4.09.020.MB

37

12

PO.71.20.4.09.001.MB

36

13

PO.71.20.4.09.007.MB

36

14

PO.71.20.4.09.008.MB

36

15

PO.71.20.4.09.010.MB

36

16

PO.71.20.4.09.022.MB

36

17

PO.71.20.4.09.017.MB

33

18

PO.71.20.4.09.018.MB

33

19

PO.71.20.4.09.005.MB

32

20

PO.71.20.4.09.012.MB

30

21

PO.71.20.4.09.015.MB

29

22

PO.71.20.4.09.021.MB

26

 
]* Nilai tersebut belum merupakan nilai akhir, dan belum termasuk komponen penilaian lain seperti UTS, Penugasan/Seminar, dan Ujian Praktikum.

Senin, 14 September 2009

Mengasah Empati Berbagi Simpati

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

Sering kali seseorang menilai dengan parameter subjektif dan melihat orang lain dengan kacamata kuda sehingga tidak jarang salah memahami dan menyikapi peristiwa secara tidak arif. Hal itu karena minimnya kesadaran empati dalam memahami kelemahan, kesalahan, kekurangan, kejahilan dan kenaifan orang lain yang sebenarnya boleh jadi merupakan ujian kepekaan dan kejelian dalam mendulang hikmah dan pelajaran di balik berbagai peristiwa yang dilakoni orang lain tadi, alih-alih menjulurkan simpati. Empati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Simpati dalam KBBI diartikan sebagai:

1. rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka

2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain: rakyat yang menderita akibat bencana alam itu mendapat simpati dari berbagai kalangan.

Suatu ketika para sahabat yang sedang berada di masjid Nabawi terusik kesyahduan dzikir mereka dan spontanitas bereaksi emosional tatkala seorang laki-laki Arab badui tiba-tiba berulah kencing di dalam masjid yang saat itu lantainya masih berupa tanah. Demi melihat situasi panas tersebut Rasulullah saw dengan penuh empati dan kelembutan menyikapi dan meluruskan peristiwa tesa dan antitesa sikap reaksi berang sahabat dan aksi bodoh Arab badui tersebut. Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar dan membiarkan Arab badui menyelesaikan hajatnya serta meminta mereka menyiram bekas kencingnya agar merembes ke tanah dan hilang najisnya. Setelah situasi reda dan dapat diatasi, Rasulullah segera memanggil mereka semua. Beliau memberikan bimbingan kepada para sahabat tentang sikap empatik yang akan membawa hikmah yaitu dengan memaklumi ketidaktahuan Arab badui tersebut, menyadari reaksi kesabaran akan dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.

Para sahabat akhirnya mengerti bahwa sikap empati yang membuahkan solusi masalah dengan menyiram dan membersihkan kencing sebagai pelajaran bagi si badui bahwa perbuatannya tidak benar yang telah mengotori tempat yang seharusnya dijaga kesuciannya. Selain itu, mereka menyadari bahwa bersabar menanti selesainya kencing si badui akan menghindari tiga mudharat yakni gusarnya si badui yang merasa terusik hajatnya, menyakiti saluran kencing si badui yang terganggu kelancarannya, dan meluasnya area najis akibat kepanikan si badui dalam menuntaskan hajatnya. Kepada si badui Nabi saw memberikan pemahaman secara halus bahwa perbuatannya tidak benar karena telah kencing di masjid dan itu tidak pada tempatnya sebab masjid dibangun sebagai tempat suci untuk dzikrullah dan shalat. Jelang mendapat penjelasan empatik Nabi, si badui sangat terpesona padanya dan sebaliknya masih kecewa dengan sikap berang sahabat seraya berdoa "Ya Allah masukkanlah aku dan Muhammad ke dalam surga dan janganlah Engkau masukkan ke dalamnya seorang pun selain kami." Lagi-lagi demi mendengar doa yang tidak arif itupun nabi menyikapinya dengan penuh empati demi melihat kenaifannya tanpa membodoh-bodohkannya seraya meluruskan doanya: "Wahai kamu, ketahuilah bahwa surga itu sangat luas dan jika kita berdua saja yang masuk niscaya akan sangat kesepian".

Pada saat yang lain, kita saksikan sejarah Nabi yang telah membuktikan samudera jiwa empati tatkala seorang laki-laki dengan langkah tergesa-gesa menghadapnya. Nafasnya masih tersengal, turun-naik, sementara jantungnya berdetak cepat. Rasulullah menyambutnya dengan penuh santun. "Celaka bagi kami, wahai Rasulullah," begitu ia mengawali pembicaraannya. "Aku telah melakukan hubungan suami-istri di siang Ramadhan." Nampaknya lelaki ini sadar bahwa perbuatannya telah melanggar syariah, yang karenanya ia harus menerima sanksi Rasulullah kemudian memberi petunjuk agar lelaki itu memerdekakan seorang budak. Lelaki tersebut menggelengkan kepala tanda tidak sanggup melaksanakannya.

Maka Rasulullah memberikan alternatif kedua, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut. Lagi-lagi lelaki tersebut menggeleng. Ia merasa tidak mampu untuk melakukannya. Dalam hatinya ia berkata, 'Jangankan dua bulan, sedang yang satu bulan saja sudah dilanggar.' Rasulullah menawarkan solusi ketiga, yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin. Untuk yang ketiga kalinya ia mengatakan tidak sanggup. Ia katakan bahwa untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sering mendapati kesulitan. Apalagi harus memberi makan kepada orang lain.

Dengan penuh kasih sayang Rasulullah kemudian memanggil istrinya agar mengambil bahan makanan yang masih tersisa di rumahnya hingga cukup untuk menebus kewajiban lelaki tersebut. Sambil memberikannya, Rasulullah berpesan agar bahan makanan itu dibagikannya kepada fakir miskin di kampungnya. Dengan sedikit menahan malu, lelaki tersebut berkata polos, "Di kampung kami, orang yang paling miskin adalah saya sendiri."Kepolosan lelaki itu ternyata membawa berkah tersendiri. Rasulullah menyampaikan agar bahan makanan itu diterima dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pulang dengan perasaan suka cita. Selain mendapatkan bahan makanan, puasanya juga sudah tertebus. Dua keuntungan sekaligus diperoleh, keuntungan materi sekaligus keuntungan ukhrawi.

Kisah seperti ini rasanya sulit dimengerti untuk ukuran sekarang. Bagaimana seorang pemimpin dapat berlaku begitu santun. Sulit ditemukan sosok pemimpin yang luwes, lapang dada, santun, dan sabar memenuhi segala tuntutan ummatnya sebagaimana Rasulullah. Andaikata menemui lelaki seperti dalam kisah di atas, barangkali kita akan menghardiknya dengan kata-kata kasar, "Sudah tahu tidak mampu menebus dendanya, kenapa kamu sampai melanggar?" Atau kita katakan, "Pokoknya itulah ketentuan syariat, titik. Dengan cara apapun harus kamu upayakan. Pokoknya nggak mau tahu salahmu sendiri melanggar. Rasain sendiri akibatnya habis macam-macam saja." Jangankan ikut membantu meringankan bebannya dengan memberi bahan makanan, memberi santunan dengan kata-kata yang halus dan menghibur saja mungkin sulit kita lakukan.

Di sinilah terletak rahasia sukses kepemimpinan Rasulullah. Beliau bisa bersikap tegas, tapi lebih sering bersikap lemah-lembut kepada ummatnya. Justru sikap yang terakhir itu lebih dikedepannya dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau bisa marah, tapi sikap pemaafnya jauh lebih luas dari segalanya. Apalagi jika berhadapan dengan sesama ummat Islam. Allah sendiri menegaskan: "Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka." (QS. al-Fath: 29)

Itulah sebabnya Rasulullah sangat dicintai ummatnya. Saking cintanya, dalam sebuah bai'at, seorang lelaki pernah mengatakan, "Andaikata kita menyeberangi lautan dengan kapal, kemudian di tengah lautan kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencebur ke laut, pasti kita lakukan." Kepada ummatnya, Rasulullah selalu mengedepankan sifat kasih sayang. Beliau berusaha mempermudah ummatnya dalam melaksanakan syariat agama. Bukan sebaliknya, memberi beban yang akhirnya tak mampu dipikul oleh mereka.

Ketika Isra' dan Mi'raj Rasulullah menyampaikan usulan kepada Allah agar ummatnya diberi beban yang tidak terlalu berat dalam menunaikan ibadah shalat. Akhirnya ditetapkan shalat lima kali dalam sehari, sebagai suatu kewajiban yang sangat ringan. Jika masih ada yang merasa keberatan, barangkali nafsunya yang terlalu dominan.

Suatu saat beliau hendak mewajibkan bersiwak (gosok gigi) bagi kaum muslimin setiap hendak mendirikan shalat. Akan tetapi karena takut kewajiban itu memberatkan, maka akhirnya tidak beliau undangkan, meskipun bersiwak itu manfaatnya sangat besar dalam upaya menjaga kesehatan. Bagi yang bersiwak disiapkan pahala besar, sementara yang tidak melakukannya juga tidak diancam apa-apa. Akhirnya bersiwak hanya menjadi anjuran. Sikap demikian itu sejalan dengan ketentuan Allah, yang dinyatakan dalam al-Qur'an: "Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu." (QS. al-Baqarah: 185)

Ketika Rasulullah mengutus dua orang sahabat, yaitu Abu Musa dan Mu'adz ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, "Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah engkau mempersulit."

Tugas seorang da'i, muballigh, ustadz atau guru agama adalah memberi jalan kemudahan bagi ummat Islam agar dapat menjalankan perintah Islam dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang juru dakwah wajib mempunyai bekal ilmu yang cukup, di samping sikap yang arif. Ilmu yang luas menjadikan seseorang lebih bisa bersikap luwes dan lapang dada. Sementara ilmu yang hanya pas-pasan biasanya mendorong seseorang bersikap keras dalam menghadapi suatu persoalan.

Luasnya ilmu dan wawasan akan nampak dalam sikapnya yang toleran. Dalam menghadapi persoalan ia tidak hanya menyodorkan satu alternatif, tapi tersedia berbagai pilihan. Orang lain diberi kebebasan untuk memilih sesuai kadar iman dan kemampuannya.

Allah sendiri ketika menyerukan hamba-Nya untuk bertaqwa, Dia menggunakan dua kalimat perintah. Pertama, Allah berfirman, "Bertaqwalah kamu sekuat kemampuanmu." Kedua, Allah berseru, "Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati sehingga kalian benar-benar Islam." Yang pertama ditujukan kepada mereka yang kadar imannya masih dalam proses penyempurnaan, sementara firman kedua ditujukan kepada mereka yang sudah siap menerima segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.

Nabi saw juga menerapkan hal sama. Dalam menghadapi satu pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda, jawaban Nabi juga selalu berbeda, disesuaikan dengan kadar akal dan imannya. Nabi tidak memaksakan seseorang menerima hal yang sama, padahal kemampuan mereka untuk menerimanya sangat jauh berbeda. Di sini Rasulullah sangat memperhatikan "proses", bukan hasil semata-mata.

Dalam kaitannya dengan persoalan di atas, dianjurkan kepada juru dakwah, guru agama, atau muballigh agar lebih bijak dalam menyampaikan persoalan-persoalan agama. Jika ada dua pilihan, kenapa harus kita pilihkan satu saja? Bukankah mereka juga berhak memilih sesuai dengan kondisi dan keadaannya?

Bahkan dalam hal ini, jika ada dua perkara yang sama-sama diperbolehkan oleh syariat, hendaknya kita memilih yang termudah. Kita tidak boleh bersikap terlalu keras, karena yang demikian itu justru menyimpang dari sunnah. Sikap tasyaddud, ekstrim, dan berlebih-lebihan sebagai cerminan kerasnya hati dan keringnya rasa empati sama sekali tidak disukai oleh Rasulullah. Selama tidak mengandung dosa, Rasulullah lebih memilih yang termudah dari dua perkara yang sama-sama boleh, ibahah. Sikap itulah yang hendaknya kita pilih, bukan sebaliknya. Dalam sebuah pesannya, beliau bersabda: "Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dan jangan bersikap kasar. Sesungguhnya, tidaklah sikap lemah lembut itu ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak pula ia lepas dari sesuatu kecuali mengotorinya." (HR Muslim)

Sikap para elit, tokoh, ulama, da'i, muballigh, pemimpin dan guru yang lebih menyukai sesuatu yang berat dan minim jiwa empati dalam menjalankan dan menegakkan risalah kebenaran pada dasarnya tidak sesuai dengan sunnah, keluar dari teladan Rasulullah saw. Sikap demikian sesungguhnya lebih terkait dengan kejiwaan. Itulah sebabnya, seorang muslim dianjurkan untuk terus-menerus melakukan pembersihan hati, tazkiyah, agar memiliki jiwa yang bersih, dada yang lapang, dan hati yang dipenuhi rasa kasih dan sayang.

Jika ada benih-benih keinginan untuk mempersulit atau memperberat suatu perkara, hendaknya para da'i segera meminta perlindungan dari Allah, memperbaharui iman, dan mensucikan hati dari sifat dendam dan iri hati. Jauhkanlah diri dari tipu daya setan. Sesungguhnya kita memerlukan ruh dari langit sehingga dapat menempuh jalan dien ini dengan mudah. Hal itu dapat kita peroleh jika kita memenuhi rongga dada kita dengan sifat kasih sayang, terutama pada diri sendiri. Caranya, jangan memaksakan diri, tidak mengangkat beban di luar kemampuan kita yang sebenarnya. Jika terhadap diri sendiri, kita sudah bersikap kasih dan sayang, maka kepada orang lain juga kita kembangkan sikap yang sama. Kasih sayang itu akan mengarahkan kita kepada sikap yang menghormati kemampuan dan keterbatasan orang lain. Jika dengan semua orang kita harus bersikap empati termasuk dalam merealisasikan dan menyebarkan pemikiran dan pemahaman kita, maka dengan orang-orang terdekat yang kita kasihi seharusnya lebih sensitif dan peka dalam empati dan tidak asal memaksakan kehendak dan ego.

Stephen R. Covey (1999) mengingatkan kita untuk memahami implementasi makna empati secara benar. Kebanyakan dari kita tidak berusaha untuk memahami dahulu, tetapi sebaliknya ingin dipahami dahulu posisi dan pemikiran kita. Atau jika kita ingin berusaha memahami, kita sering sibuk mempersiapkan tanggapan kita dan reaktif saat kita menyaksikan kejadian, menghadapi sikap atau mendengarkan pernyataan orang lain. Jadi, kita lebih sering mengevaluasi, menyarankan, menyelidiki, atau menerjemahkan dari sudut pandang kita sendiri sebelum memahami konsideran sikap dan peristiwa serta kesejatian masalah. Dan tidak satu pun dari ini adalah tanggapan empatik yang memahami. Semuanya berasal dari kesejatian diri kita, dunia kita dan nilai-nilai kita secara searah.

Dalam rangka mengasah empati itulah diperlukan riyadhah melatih diri dalam memberi petunjuk kepada siapa saja yang mendapati kesulitan, memaafkan atas semua kekhilafan, berlapang dada atas segala kealpaan, menuntun orang ke jalan yang terang tanpa harus mencari-cari kesalahan dan membuka aibnya. Bukankah Allah selalu berpesan: "Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl:125), dan telah menegaskan: "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Fushshilat:33). []

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/mengasah-empati-berbagi-simpati/

 


Tes Fertilitas dan Kesehatan Pra Nikah

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

Pernikahan merupakan pengalaman hidup yang sangat penting sebagai media penyatuan fisik dan psikis antara dua insan dan penggabungan kedua keluarga besar dalam rangka ibadah melaksanakan perintah Allah SWT. Hal itu tentunya memerlukan berbagai persiapan terkait yang cukup matang termasuk persiapan fisik sebelum menikah adalah tidak kalah pentingnya dengan kesiapan materi, sosio-kultural, mental dan hukum. Tes kesehatan dan fertilitas yang disarankan kalangan medis serta para penganjur dan konsultan pernikahan sebenarnya merupakan salah satu bentuk persiapan pranikah yang secara eksplisit maupun implisit disunnahkan dalam Islam
Bahkan, sekalipun tidak ada riwayat dan indikasi penyakit ataupun kelainan keturunan di dalam keluarga, berdasarkan prinsip syariah tetap dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan standar termasuk meliputi tes darah dan urine. Hal itu karena prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (vol.III/14) adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan, kerahmatan, kemudahan, keamanan, keselamatan, kesejahteraan dan kebijaksanaan yang merata. Apa saja yang bertentangan dengan prinsip tersebut maka hal otomatis dilarang syariah, namun sebaliknya segala hal yang dapat mewujudkan prinsip tersebut secara integral pasti dianjurkan syariah.
Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syariah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syariah dan segala yang membahayakannya dikategorikan sebagai mudharat atau mafsadah yang harus disingkirkan sebisa mungkin sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, (vol.I/139-140) yang dijabarkan oleh Imam Asy-ysathibi dalam kitab Al-Muwafaqat.
Bila ditinjau secara psikologis, sebenarnya pemeriksaan itu akan dapat membantu menyiapkan mental pasangan. Sedangkan secara medis, pemeriksaan itu sebagai ikhtiar (usaha) yang bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari sehingga dapat menjadi langkah antisipasi dan tindakan preventif yang dilakukan jauh-jauh hari untuk menghindarkan penyesalan dan penderitaan rumah tangga.
Para ahli abstetri (ilmu kebidanan) dan ginekologi (ilmu keturunan) menyatakan bahwa sebaiknya calon pengantin memeriksakan dirinya tiga bulan sebelum melakukan janji pernikahan. Rentang waktu itu diperlukan untuk melakukan pengobatan jika ternyata salah seorang atau keduanya menderita gangguan tertentu. Jenis pemeriksaan kesehatan pranikah dapat disesuaikan dengan gejala tertentu yang dialami calon pengantin secara jujur, berani dan objektif. Misalnya, pemeriksaan harus dilakukan lebih spesifik jika dalam keluarga didapati riwayat kesehatan yang kurang baik. Namun, jika semuanya lancar-lancar saja, maka hanya dilakukan pemeriksaan standar, yaitu cek darah dan urine.
Untuk cek darah, biasanya diperlukan khususnya untuk memastikan si calon ibu tidak mengalami talasemia, infeksi pada darah dan sebagainya. Dalam pengalaman medis, kadang kala ditemukan gejala anti phospholipid syndrome (APS), yaitu suatu kelainan pada darah yang bisa mengakibatkan sulitnya menjaga kehamilan atau menyebabkan keguguran berulang. Jika ada kasus seperti itu, biasanya para dokter akan melakukan tindakan tertentu sebagai langkah , sehingga pada saat pengantin perempuan hamil dia dapat mempertahankan bayinya.
Hasil analisa data medis mengungkapkan bahwa kasus yang paling banyak terjadi pada calon ibu khususnya di Indonesia adalah terjangkitnya virus toksoplasma. Virus yang bisa mengakibatkan kecacatan pada bayi ini biasanya disebabkan seringnya kaum perempuan mengkonsumsi daging yang kurang matang atau tersebar melalui kotoran atau bulu binatang piaraan. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya, agar dapat ditangani Secara dini diperlukan pemeriksaan toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, dan herpes yaitu yang sering disingkat dengan istilah pemeriksaan terhadap TORCH.
Demikian pula, pada calon pengantin pria biasanya diperlukan untuk dilakukan pemeriksaan sejumlah infeksi seperti sipilis dan gonorrhea. Selain itu banyak juga dari pengalaman klinis dilakukan pemeriksaan sperma untuk memastikan kesuburan untuk calon mempelai pria. Dalam kapasitas ini, pemeriksaan sperma dilakukan dalam tiga kategori yaitu jumlah sperma, gerakan sperma dan bentuk sperma.
Sperma yang baik menurut para ahli, jumlahnya harus lebih dari 20 juta setiap cc-nya dengan gerakan lebih dari 50% dan memiliki bentuk normal lebih dari 30% . Bila dalam pemeriksaan ditemukan kelainan pada sperma, maka waktu tiga bulan setelah pemeriksaan dianggap sudah cukup untuk melakukan penyembuhan. Demikian halnya bagi calon mempelai wanita, jangka waktu tiga bulan juga dianggap memadai untuk memperbaiki siklus menstruasi calon pengantin wanita yang memiliki masa menstruasi tidak lancar dengan disiplin mengikuti terapi khusus dan intens secara kontinyu.
Pemeriksaan standar menyangkut darah antara lain dilakukan untuk mengetahui jenis resus. Seperti bangsa Asia lainnya, perempuan Indonesia memiliki resus darah positif. Sedangkan bangsa Eropa dan Kaukasia biasanya memiliki resus negatif. Karena itu, pemeriksaan resus untuk pasangan campuran yang berasal dari dua bangsa berbeda sangatlah penting. Resus berfungsi sama dengan sidik jari yaitu sebagai penentu. Setelah mengetahui golongan dara seseorang seperti A, B, O biasanya resusnya juga ditentukan untuk mempermudah identifikasi. Hal itu karena perbedaan resus pada pasangan bisa berdampak fatal saat kehamilan.
Jika ibu memiliki resus positif dan embrio menunjukkan resus negatif, maka biasanya disarankan para ahli medis untuk melakukan pengguguran sejak dini karena tidak mungkin janin akan bertahan hidup secara normal di dalam rahim ibu. Meskipun pasangan ingin tetap mempertahankan janin, nantinya akan gugur juga. Pengalaman ini biasanya di kalangan medis disebut sebagai kasus incompabilitas resus.
Calon pengantin juga sering diminta untuk melakukan pemeriksaan darah anticardiolipin antibody (ACA). Penyakit yang berkaitan dengan hal itu bisa mengakibatkan aliran darah mengental sehingga darah si ibu sulit mengirimkan makanan kepada janin yang berada di dalam rahimnya. Selain itu, jika salah satu calon pengantin memiliki catatan down syndrome karena kromosom dalam keluarganya, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih intensif lagi. Sebab, riwayat itu bisa mengakibatkan bayi lahir idiot.
Adapun suntikan Tetanus Toxoid yang lebih dikenal dengan suntikan TT sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah timbulnya tetanus pada luka yang dapat terjadi pada vagina mempelai wanita yang diakibatkan hubungan seksual pertama. Suntikan TT biasanya juga diperlukan dan dianjurkan oleh para medis bagi para ibu hamil di usia kehamilan 5-6 bulan untuk mencegah terjadinya tetanus pada luka ibu ataupun bayi saat proses kelahiran. Sedangkan kekhawatiran adanya manipulasi serum TT pada suntikan yang diganti dengan serum kontrasepsi oleh para medis sebaiknya dihilangkan dan jika terbukti adanya pengalaman sebelumnya atau indikasi kuat mal praktik yang disengaja tersebut, maka dapat dilaporkan para pihak terkait dan yang berwenang, dan hal itu di samping melanggar kode etik kedokteran, juga merupakan suatu tindak pidana.
Dalam proses pemilihan pasangan dan prosedur pernikahan, Islam di samping aspek keimanan dan keshalihan (hifdz din) juga sangat memperhatikan aspek keturunan serta aspek kesehatan fisik dan mental (hifdz nasl dan hifdz ‘aql). Hal itu dapat kita kaji dari hadits Rasulullah saw maupun ayat-ayat al-Qur’an seputar pernikahan.
Anjuran Nabi saw untuk melihat calon pasangan sebelum menikah merupakan ekspresi urgensi pemeriksaan dan observasi fisik oleh masing-masing calon mempelai dalam batas ketentuan syariah agar lebih dapat melestarikan hubungan dan kehidupan rumah tangga. (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan contoh alasan pemeriksaan dan observasi fisik tersebut adalah menurut catatan demografis terdapat kelainan mata pada sebagian mata kaum Anshar Madinah saat itu. (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat tentang pelarangan Nabi terhadap pernikahan antar kerabat dekat apalagi yang diharamkan dalam surat an-Nisa:23 tentang mahram agar terhindar dari lahirnya keturunan yang lemah fisik dan akal di samping memelihara aspek psikologis dan pertimbangan hubungan sosial yang sehat, adalah merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap aspek genetik calon pasangan.
Selain itu, anjuran Nabi saw untuk memilih pasangan yang penuh kasih sayang (wadud) dan subur (walud) sebagaimana riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan al-Hakim merupakan bukti perhatian Islam terhadap aspek fertilitas, karena di antara hikmah pernikahan adalah melaksanakan ibadah dengan memperbanyak keturunan yang shalih.
Thariq Ismail Khahya dalam Az-Zawaj fil Islam, di samping menyatakan criteria kesehatan pada calon mempelai wanita, juga menekankan bahwa calon suami harus sehat jasmani dan rohani steril dari berbagai penyakit yang dapat menghalangi dan menganggu kebahagiaan pernikahan seperti gangguan kejiwaan, lepra, impotensi, dan penyakit lainnya yang dapat menular ataupun menurun. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khathab pernah memutuskan bahwa seorang pengantin pria diberi kesempatan selam satu tahun untuk menyembuhkan impotensinya, dan jika setelah melewati setahun belum sembuh dan pengantin wanita menuntut cerai maka akan dikabulkan dan disetujui oleh pihak hakim. Hal ini merupakan indikasi pentingnya faktor keturunan dan kesuburan serta kesehatan seksual dalam pernikahan sehingga sangat diperlukan pemeriksaan.
Dengan demikian, berdasarkan data urgensi dan manfaat dari pemeriksaan kesehatan tersebut syariat Islam sangat menyambut anjuran agar calon pengantin melakukan pemeriksaan fertilitas dan tes kesehatan fisik maupun mental sekalipun serta tindakan imunisasi termasuk imunisasi TT pra menikah agar dapat diketahui lebih awal berbagai kendala dan kesulitan medis yang mungkin terjadi untuk diambil tindakan antisipasi yang semestinya sedini mungkin berdasarkan prinsip Sadd Adz-Dzari’ah (prinsip pengambilan langkah preventif) terhadap segala hal yang dapat membahayakan bagi panca maslahat tersebut di atas.
Sumber: dakwatuna.com