My Family

My Family
Palembang, Mei 2013

Jumat, 30 April 2010

Lima Cara Kurangi Peradangan


Oleh: Merry Wahyuningsih - DetikHealth

Mengurangi peradangan di dalam tubuh sangat penting karena merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan kondisi medis serius seperti penyakit jantung dan gangguan autoimun. Bagaimana cara mengurangi peradangan?

Tangan, kaki, dan bagian tubuh lainnya menjadi merah, bengkak, panas dan menyakitkan adalah gejala-gejala terjadinya peradangan. Peradangan adalah kemampuan dari sistem kekebalan tubuh kita untuk merespon sebuah iritasi.

Misalnya, jika lutut cedera saat berolahraga, sistem kekebalan tubuh akan mengeluarkan protein, yang disebut protein C-reaktif, menuju ke daerah lutut yang cedera dan mengakibatkan rasa sakit, bengkak dan peradangan.

Peradangan sebenarnya adalah kondisi tubuh untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa peradangan kronis dapat menjadi akar penyebab beberapa penyakit kronis seperti gangguan autoimun dan penyakit jantung koroner.

Oleh karena itu sangat penting untuk mengurangi peradangan sesegera mungkin. Seperti dilansir dari Ehowdan Buzzle, Jumat (30/4/2010), berikut 5 cara untuk mengurangi peradangan, yaitu:

1. Makan makanan yang kaya antioksidan

Antioksidan selain dapat meningkatkan sirkulasi dan percernaan, juga secara alami dapat mengurangi peradangan dalam tubuh.

Banyak kondisi atau penyakit seperti arthritis, gangguan pencernaan, katarak, tekanan darah tinggi, kanker, hipertensi, cacat lahir, dan sebagainya, dapat dihindari atau disembuhkan dengan makan makanan yang kaya antioksidan 5-9 kali sehari.

Contoh makanan yang kaya antioksidan adalah stoberi, blueberry, raspberry, blackberry, anggur, plum, ikan salmon, mackerel, brokoli, pepaya, melon, kacang-kacangan, merica, asparagus, ubi jalar, wortel, labu, aprikot, tomat, minyak zaitun, dan coklat.

2. Hindari makanan olahan
Makanan olahan adalah makanan yang sudah dikemas dalam bentuk kotak, kaleng atau yang siap saji.

Makanan olahan ini mengandung lemak jenuh, lemak trans, karbohidrat olahan dan pengawet yang dapat meningkatkan peradangan di seluruh tubuh.

3. Minum banyak air dan menghindari minuman manis
Air putih dapat membuat tubuh tetap terhidrasi dan membantu melancarkan pencernaan. Selain itu, teh hijau juga merupakan sumber antioksidan yang baik, tapi hindari penggunaan gula pada minuman teh ini.

4. Latihan teratur

Berolahraga selama 30-60 menit 3 hingga 5 kali dalam seminggu akan membantu menurunkan berat badan secara alami, sehingga mengurangi jumlah tekanan pada sendi dan ligamen. Kurang tekanan berarti mengurangi peradangan dalam tubuh.

Selain itu, olahraga seperti jalan cepat, jogging, bersepeda atau berenang dapat membuat tubuh melepaskan senyawa yang disebut endorphins dalam aliran darah, yang akan membantu meredakan peradangan.

5. Kurangi stres

Stres menyebabkan pelepasan beberapa hormon stres di dalam tubuh, yang mengakibatkan peradangan. Ada beberapa cara untuk menghilangkan stres dan kecemasan, seperti aromaterapi, beribadah, pijat, dan lainnya, yang dapat digunakan untuk menenangkan jiwa.

Mengurangi stres berarti mengurangi peradangan. Selain itu, tidur nyenyak juga membantu mengurangi peradangan. Pastikan tubuh mendapatkan sekitar 7-9 jam tidur, sehingga dapat membatalkan semua respon peradangan tubuh.

Rabu, 28 April 2010

Stress dan Ansietas Pada Pasien Yang Menjalani CAGB [Stressors and Anxiety in Patients Undergoing Coronary Artery Bypass Surgery]

By: Robyn Gallagher, RN, PhD, and Sharon McKinley, RN, PhD

Background Patients undergoing coronary artery bypass surgery who have increased anxiety levels have poorer outcomes than patients with lower levels, yet few studies have identified the concerns associated with this anxiety.

Objective To describe the concerns of patients undergoing coronary artery bypass surgery and to identify concerns that were associated with higher levels of anxiety.

Method Patients (n = 172) were interviewed to determine their concerns and anxi­ety levels before surgery, before discharge, and 10 days after discharge. Multiple regression was used to determine the predictors of anxiety.

Results Although individual concerns changed over time, anxiety levels did not change from before to after surgery, remaining low to moderate. Being female and having more concerns about waiting for the surgery, being in pain/discomfort, and resuming lifestyle were predictors of increased anxiety before surgery. Predictors of increased anxiety while hospitalized after the surgery included taking anxiolytic or antidepressant medications, higher anxiety levels before surgery, concerns about personal things being inaccessible, and difficulty sleeping. Patients with higher anxiety levels after discharge were older, more anxious before surgery, and had concerns about being in pain/discomfort.

Conclusion Patients waiting for coronary artery bypass surgery should be routinely assessed for anxiety before the procedure, and interventions to prevent or reduce anxiety should be provided. Interventions must be multifactorial, including infor­mation and support for pain management and realistic information about surgery schedules and resuming lifestyle after the surgery. Women and older patients may need to be targeted for intervention.


Sumber: American Journal of Critical Care.2007;1 6:248-257

Senin, 26 April 2010

NURSES’ IMPLEMENTATION OF GUIDELINES FOR VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA FROM THE CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION

By: Carolyn L. Cason, RN, PhD, Tracy Tyner, RN, MSN, CEN, CCRN , Sue Saunders, RN, MSN, CCRN, and Lisa Broome, RN, MSN. From the School of Nursing, University of Texas at Arlington (CLC), Parkland Memorial Hospital, Dallas, Tex (TT), RHD Memorial Hospital, Dallas, Tex (SS), and Baylor Regional Hospital, Plano, Tex (LB).

BACKGROUND Ventilator-associated pneumonia accounts for 47% of infections in patients in intensive care units. Adherence to the best nursing practices recommended in the 2003 guidelines for the preven­tion of ventilator-associated pneumonia from the Centers for Disease Control and Prevention should reduce the risk of ventilator-associated pneumonia.

OBJECTIVE To evaluate the extent to which nurses working in intensive care units implement best prac­tices when managing adult patients receiving mechanical ventilation.

METHODS Nurses attending education seminars in the United States completed a 29-item question­naire about the type and frequency of care provided.

RESULTS Twelve hundred nurses completed the questionnaire. Most (82%) reported compliance with hand-washing guidelines, 75% reported wearing gloves, half reported elevating the head of the bed, a third reported performing subglottic suctioning, and half reported having an oral care protocol in their hospital. Nurses in hospitals with an oral care protocol reported better compliance with hand washing and maintaining head-of-bed elevation, were more likely to regularly provide oral care, and were more familiar with rates of ventilator-associated pneumonia and the organisms involved than were nurses working in hospitals without such protocols.

CONCLUSIONS The guidelines for the prevention of ventilator-associated pneumonia from the Centers for Disease Control and Prevention are not consistently or uniformly implemented. Practices of nurses employed in hospitals with oral care protocols are more often congruent with the guidelines than are practices of nurses employed in hospitals without such protocols. Significant reductions in rates of ventilator- associated pneumonia may be achieved by broader implementation of oral care protocols.

Selengkapnya: (American Journal of Critical Care. 2007;16:28-38)

Penyebab Kanker Orang Indonesia


Oleh: Irna Gustia - DetikHealth

Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal yang menyerang organ dengan cepat sehingga fungsinya hancur dan menyebabkan kematian. Kanker bisa disebabkan faktor genetik dan lingkungan.

Di Indonesia dan dunia tiap tahun kasus kanker terus meningkat. Mulai dari yang tertinggi kanker payudara, kanker leher rahim (serviks), kanker paru, Kanker usus besar (kolorektal), kanker prostat, kanker darah, kanker tulang, kanker hati, kanker kulit. Setidaknya di dunia ada lebih dari 100 jenis kanker.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama dalam seminar di Jakarta, Senin (26/4/2010) mengatakan kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia.

Di dunia, 12 persen seluruh kematian disebabkan oleh kanker dan pembunuh nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular. WHO dan Bank Dunia memperkirakan setiap tahun, 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia.

Jika tidak dikendalikan, diperkirakan 26 juta orang akan menderita kanker dan 17 juta meninggal karena kanker pada tahun 2030. Ironisnya, kejadian ini akan terjadi lebih cepat di negara miskin dan berkembang.

dr. Tjandra mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kanker di Indonesia yaitu:

1. Merokok 23,7 persen

2. Obesitas pada penduduk usia di atas 15 tahun yakni pria 13,9 persen dan pada perempuan 23,8 persen.

3. Kurang konsumsi buah dan sayur 93,6 persen

4. Konsumsi makanan diawetkan 6,3 persen

5. Makanan berlemak 12,8 persen

6. Makanan dengan penyedap 77,8 persen

7. Kurang aktivitas fisik sebesar 48,2 persen.


Agar jumlah penderita kanker tidak terus bertambah perlu dilakukan pencegahan seperti:

1. Tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol.

2. Menghindari paparan sinar ultraviolet berlebih

3. Mencegah obesitas dengan diet sehat (mengkonsumsi buah dan sayur 5 porsi sehari)

4. Melakukan ktivitas fisik (gerak badan) 30 menit sehari.

5. Melakukan deteksi dini secara berkala di fasilitas-fasilitas kesehatan.

Berdasarkan data Riskesdas, 2007, menurut Prof. Tjandra Yoga, di Indonesia rasio tumor atau kanker adalah 4,3 per 1000 penduduk. Kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 (5,7%) setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, perinatal dan Diabetes Melitus.

Sedangkan berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher rahim (11,78%).

Kanker tertinggi yang diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per 100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16 per 100.000 perempuan.

"Para ahli memperkirakan 40% kanker dapat dicegah dengan mengurangi dan menghindari faktor risiko kanker," ujar Prof. Tjandra Yoga.

Sejak tahun 2007, proyek percontohan pengendalian kanker leher rahim dan payudara melaui deteksi dini telah dikembangkan. Pada tahun 2010, program pengendalian kanker paru menjadi salah satu program yang akan dikembangkan.

Pengendalian kanker paru dilaksanakan melalui pencegahan primer (promosi dan edukasi), sekunder (penemuan dini dan pengobatan segera), dan tersier (perawatan paliatif).

"Pengendalian yang paling efektif dan efisien adalah dengan pencegahan primer, yaitu menerapkan gaya hidup sehat," jelas Prof. Tjandra.

Sabtu, 24 April 2010

Symptoms Across the Continuum of Acute Coronary Syndromes: Differences Between Women and Men

By: Holli A. DeVon, Catherine J. Ryan, Amy L. Ochs and Moshe Shapiro

Background The urgency and level of care provided for acute coronary syndromes partially depends on the symptoms man­ifested.

Objectives To detect differences between women and men in the type, severity, location, and quality of symptoms across the 3 clinical diagnostic categories of acute coronary syn­dromes (unstable angina, myocardial infarction without ST- segment elevation, and myocardial infarction with ST-segment elevation) while controlling for age, diabetes, functional sta­tus, anxiety, and depression.

Methods A convenience sample of 112 women and 144 men admitted through the emergency department and hospitalized for acute coronary syndromes participated. Recruitment took place at 2 urban teaching hospitals in the Midwest. Data were collected during structured interviews in each patient’s hospi­tal room. Forty-eight symptom descriptors were assessed. Demographic characteristics, health history, functional status, anxiety, and depression levels also were measured.

Results Regardless of clinical diagnostic category, women reported significantly more indigestion (â = 0.25; confidence interval [CI] = 0.01-0.49), palpitations (â = 0.31; CI = 0.06-0.56), nausea (â = 0.37; CI = 0.10-0.65), numbness in the hands (â = 0.29; CI = 0.02-0.57), and unusual fatigue (â = 0.60; CI = 0.27- 0.93) than men reported. Differences between men and women in dizziness, weakness, and new-onset cough did differ by diagnosis. Reports of chest pain did not differ between men and women.

Conclusions Women with acute coronary syndromes reported a higher intensity of 5 symptoms (but not chest pain) than men reported. Whether differences between the sexes in less typical symptoms are clinically significant remains unclear.

Selengkapnya: (American Journal of Critical Care. 2008;17:14-25

Stress in the Nurse

by: Tina Moore


Caring for the critically ill patient may be stressful. If stress remains unrecognised or unalleviated, burn-out is likely to occur. The quality of care may deteriorate (clinical errors) and staff may avoid or distance themselves from all but the absolutely necessary interactions with the patient. Staff dissatisfaction at work may become evident in the form of sickness and absenteeism.

Causes

Causal factors of stress can be interpersonal (conflicts within a multidisciplinary team, bureaucracy, inadequacies of nursing care by others) or extrapersonal (environmental). Kincey et al. (2003) identified that a combination of workload, resources and a global sense of the NHS caused stress.

Clinical features

Stress can interfere with individuals’ appraisal of their situation – ‘can’t see the wood for the trees’ syndrome. Clinical features of stress (Roberts, 1986) may be:

n Emotional – increasing irritability

n Behavioural – indecisiveness

n Psychological – increasing suspiciousness and distrust

n Cognitive – inability to concentrate or listen

n Physiological – stress response (discussed earlier).

Long-term stress can lead to ill health, e.g. gastric ulcers, coronary heart disease and a compromised immune system (increased infection, common colds).

Management

Management comprises prevention and coping strategies. Crisis situations cannot be totally avoided, but strategies involve identifying the stress and taking owner­ship in working towards reducing stress to a manageable level.

Albert Einstein (cited in Davidson, 1999) suggested that the significant prob­lems we face cannot be solved at the same level of thinking we were at when we created them. Therefore, stress challenges us to take a ‘mental helicopter’ to a point above the situation so that we can get a different view on it and be pre­pared to entertain new thoughts and ideas and develop a new focus and perspect­ive. Strategies involve identifying the stress and taking ownership in working towards reducing stress, but in order to do this, stress needs to be of a manage­able level.

Kincey et al. (2003) identified that junior staff are more vulnerable to the negative aspects of stress. Coping with stress needs a supportive working environ­ment through preceptorship and effective teamwork. Keeping a diary or journal as a way of expressing oneself may be useful. The use of reflection through clini­cal supervision may help nurses to examine their practice critically and learn through this process, identifying areas for future development. Debriefing can be offered by a supervisor, but this requires great skill (see Chapter 38). Active teaching programmes and regular appraisals can help facilitate knowledge and skill development, and detailed induction programmes for new staff should help to reduce stress.

Nurses need to be able to prioritise the management and delivery of care. This involves breaking work down into series of tasks and placing these tasks in a logical order. Implications of those tasks should be examined.

Thinking ahead, making predictions and creating deadlines for the completion of tasks should help nurses to manage their time and efforts effectively and effi­ciently. This will leave time for real crises, should they arise.

As a coping mechanism, some nurses detach themselves from patients by being ‘too efficient’ or ‘too busy’, and therefore adopt a depersonalised approach to care. Balancing engagement and detachment should enable nurses to care effi­ciently and effectively for the patient and themselves.

Carmack (1997) suggests the following strategies to aid the balancing of engagement and detachment:

n Maintain consciousness and pragmatism – be realistic about what can and cannot be achieved, and be aware of your limitations

n Set limits and boundaries

n Monitor yourself – a sense of personal control is essential

n Practise self-care – it is important not to become too immersed in care; looking after yourself is also important

n Let go of the outcomes and the need to control the outcome.

Sumber: Tina Moore & Philip Woodrow (2004). High Dependency Nursing Care Observation, Intervention and Support. London: Routledge

Stress

By: Tina Moore

Introduction

It is debatable whether caring for the critically ill is more stressful than other areas of nursing. Nurses working in critical care units are exposed to different types of stressors, e.g. life-sustaining treatment, complex decision-making, continuous crisis atmosphere and complex technology. Stress is a subjective phenomenon and is dependent upon multiple variables – e.g. the nurse’s level of competence and experience, the severity of the patient’s illness, past experiences, perceptions of the situation, and the complexity of decision-making. Considering these variables, any clinical environment has the potential to be stressful.

There are various definitions of stress, each containing many meanings, which makes them confusing and ill-defined. Nevertheless, they all have a common attribute – the relationship between environmental influences and the individual.

Stress is a constant state of tension to which an individual is subjected whilst being incapable of controlling or finding adequate responses to it (Goldhill and Worthington, 1999). Stress can be viewed as a response to perceived demand, and is therefore a situation that is created when an individual is faced with any stimulus that causes disequilibrium in homeostatic functioning (Hudak et al., 1998). This function is dependent upon the individual’s ability to perceive and appraise the situation. Consequently, any situation can activate stress.

There is a tendency to concentrate on the negative components of stress and, where possible, to attempt to avoid stress-provoking situations. Stress can and does act as a motivator. This can be seen in individuals who work in critical care environments for significant periods of time, and in those who thrive on some degree of stress. A certain amount of stress is considered to be desirable for adaptation to occur. Problems arise when coping mechanisms fail and stress becomes counterproductive. Initial signs include lack of concentration, anxiety and insomnia.

This chapter aims to identify some of the sources of stress from both patient and nurse perspectives.

Stressors

The inability to cope with excess demand will possibly lead to prolonged stress and abnormal responses (physical and/or psychological), affecting the quality of life and performance. Stressors may be:

n Biological (injury or illness)

n Psychosocial (interpersonal conflicts, poor communication)

n Environmental (unfamiliarity with the surroundings, technology).

Stressors can be harmful, threatening or indeed challenging. Individuals’ ability to cope will be different depending upon their perception and appraisal, and the supportive mechanisms in place, as well as their own health status. The more uncontrollable an event seems, the more likely it is to be perceived as stressful.

Coping strategies can be problem-focused and/or emotion-focused (Lookin‑land, 1995). Problem-focused strategies are directed towards alerting the stressor, and involve identification of the problem and the generation of ideas to solve it.

Emotion-focused strategies involve developing and regulating the accompany­ing distressful emotions. Strategies may involve distancing, escape avoidance, self- control, positive appraisal and acceptance of responsibility (Lookinland, 1995). Patients may view similar situations in different ways, resulting in different con­sequences for long-term adjustment.

Models of stress

There are various models of stress. Stimulus-based models relate to the relation­ship between the external causes of stress and the individuals who are exposed to it. These models may be useful in identifying external stressors, such as noise or poor air quality, but they fail to identify the individual’s responses to the stres­sor(s).

Probably the most well-known model is Selye’s (1956) General Adaptation Syndrome (GAS), an example of a response-based model involving physiological responses to stress. It recognises the individual’s ability to respond and adapt to the environment. This is demonstrated in three progressive phases:

1 The alarm state – the body mobilises to confront the threat (‘fight and flight’)

2 Resistance, or adaptation – physical and nervous energy is used up; coping mechanisms vary

3 Exhaustion and death – response to stress is initially appropriate and useful in aiding coping; responses in the long term will be detrimental.

Sumber: Tina Moore & Philip Woodrow (2004). High Dependency Nursing Care Observation, Intervention and Support. London: Routledge

Jumat, 23 April 2010

Penderita Kusta di Jakarta Meningkat Setiap Tahun

Sumber: Republika, Jumat, 23 April 2010


Jumlah penderita kusta di wilayah Jakarta Selatan (Jaksel) terus mengalami peningkatan. Surveilans Suku Dinas (Sudin) Kesehatan Jaksel mencatat, peningkatan penyakit kusta sejak tahun 2007 sampai 2009 cukup signifikan.

Surveilans Sudin Kesehatan Jaksel merinci, pada tahun 2007 terdapat sebanyak 102 kasus penderita kusta di wilayah Jaksel. Jumlah ini meningkat menjadi 114 kasus di tahun 2008 dan naik lagi menjadi 126 kasus di sepanjang tahun 2009.

Sudin Kesehatan Jaksel mencatat, peningkatan penderita kusta terdapat di beberapa kecamatan. Di antaranya yakni kecamatan Tebet, Pasar Minggu, dan Cilandak. Puskesmas Kecamatan Tebet pada 2008 mencatat 12 orang penderita kusta di daerah tersebut. Di tahun 2009 jumlah ini meningkat jadi 18 orang penderita kusta.

Sedangkan Puskesmas dua wilayah lainya yakni Pasar Minggu dan Cilandak pada 2008 tidak mencatat adanya penderita kusta sama sekali di wilayah tersebut, tetapi pada 2009 dua puskesmas ini mencatat sebanyak lima kasus kusta untuk Kecamatan Pasar Minggu dan dua kasus di Kecamatan Cilandak.

Peningkatan juga terlihat pada kurva penderita kusta di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Pada 2008 RSUP Fatmawati mencatat sebanyak 60 penderita kusta yang berdomisili di wilayah Jaksel, jumlah ini meningkat cukup tinggi menjadi 76 kasus di tahun 2009. Fakta peningkatan ini cukup menghawatirkan warga. Pasalnya, kusta termasuk jenis penyakit inveksi yang disebabkan oleh sejenis bakteri.

Menurut wakil supervisor Kusta dan Tberkulosis (TB) Sudin Kesehatan Jaksel, Sri Gunarti, meskipun tidak memiliki kecendrungan menular yang mudah seperti TB yang bisa saja melalui liur dan rangsangan sentuhan fisik, namun penyakit kusta pada dasarnya penyakit infeksi oleh bakteri yang juga dapat menular seperti TB.

Penyakit kusta, kata Sri, dapat menular melalui udara dan hubungan atau kontak tubuh secara terus menerus. Bila ada anggota keluarga menderita kusta, anggota keluarga yang lainya juga rentan tertular penyakit ini. ''arena itu anggota keluarga yang terserang kusta sebaiknya dipisahkan dari anggota keluarga lain agar tidak tertular,'' ujarnya, Jumat (23/4).

Salah satu langkah yang diambil Sudin Kesehatan Jaksel untuk meminimalisasi penambahan penyakit ini salah satunya yakni dengan memberikan pembekalan mengenai kusta kepada puskesmas-puskesmas di Jaksel. ''Dengan sosialisasi ini, diharapkan puskesmas mampu memberikan penanganan yang tepat pada para penderita kusta, baik yang masih berupa gejala maupun yang sudah positif terinfeksi kusta,'' tegasnya.

8 Cara Alami Menyembuhkan Impotensi


Oleh: Merry Wahyuningsih - DetikHealth

Banyak cara yang dilakukan untuk mengatasi disfungsi ereksi (impotensi) yakni ketidakmampuan pria mendapatkan dan mempertahan ereksi saat berhubungan seksual. Cara yang bisa dilakukan dengan pengobatan alami.

Andrew McCullough, MD, profesor urologi klinis di Universitas New York Langone Medical Center di New York City, seperti dilansir dari WebMD, Kamis (22/4/2010) mengatakan harus dipastikan terlebih dahulu tidak ada kondisi medis lain yang perlu dikhawatirkan sehingga pengobatan alami itu bisa dilakukan.

Disfungsi ereksi disebabkan oleh aterosklerosis (gangguan pembuluh arteri), penyakit ginjal, penyakit pembuluh darah, penyakit syaraf, diabetes, obat-obatan tertentu, luka bedah dan masalah psikologis.

Pengobatan alami itu disarankan dilakukan dengan konsultasi dokter karena dapat sangat membahayakan.

"Jika Anda mengalami disfungi ereksi, hal pertama yang Anda butuhkan adalah diagnosis," kata pakar impotensi Steven Lamm, MD, seorang ahli penyakit dalam di New York City dan pengarang buku The Hardness Factor (Harper Collins).

Menurutnya, pria dengan disfungsi ereksi parah mungkin membutuhkan resep obat seperti Levitra (vardenafil), Cialis (tadalafil) dan Viagra.

Namun, pria dengan disfungsi seksual ringan seringkali melakukan pengobatan sendiri dengan menggunakan obat-obatan alami. Berikut beberapa obat alami yang paling populer:

1. Akupuntur

Meskipun akupuntur telah digunakan untuk mengobati masalah seksual pria selama berabad-abad, tapi bukti ilmiah yang mendukung penggunaannya untuk disfungsi ereksi masih samar-samar.

2. Arginin

Asam amino L-arginin, yang terbentuk secara alami dalam makanan, dapat meningkatkan produksi nitrat oksida tubuh, yaitu senyawa yang memfasilitasi ereksi dengan dilatasi pembuluh darah ke penis. Namun, menurut Geo Espinosa, ND, direktur Pusat Urologi Integratif di NYU Langone Medical Center, penggunaan L-arginin harus diawasi, karena L-arginin dapat berinteraksi dengan beberapa obat.

3. DHEA

Testosteron penting bagi libido yang sehat dan fungsi seksual normal. Penderita disfungsi ereksi dikenal memiliki testosteron rendah, sehingga dibutuhkan terapi testosteron untuk meningkatnya.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan suplemen yang mengandung DHEA, yaitu hormon yang diubah tubuh menjadi testosteron dan estrogen, dapat membantu meringankan beberapa kasus disfungsi ereksi.

4. Ginseng

Ginseng merah Korea telah lama digunakan untuk merangsang fungsi seksual pria, tetapi masih sedikit penelitian yang berusaha secara sistematis untuk mengkonfirmasi manfaatnya. Namun para ahli menyarankan, apabila Anda akan mengonsumsi ginseng, sebaiknya konsultasikan dengan dokter karena ginseng dapat berinteraksi dengan obat dan menyebabkan reaksi alergi.

5. Jus buah delima
Minum jus delima yang kaya antioksidan telah terbukti memiliki banyak manfaat kesehatan, termasuk mengurangi risiko penyakit jantung dan tekanan darah tinggi.

Tapi apakah jus delima bisa mengatasi disfungsi seksual? Belum ada bukti yang kuat tentang efektivitasnya mengatasi hal tersebut. Tetapi jika pun memang tidak ada, setidaknya dengan minum jus delima dapat menyehatkan tubuh.

6. Yohimbe
Sebelum ada Viagra dan obat-obatan resep lainnya, kadang-kadang dokter memberikan resep turunan dari ramuan yohimbe (hidroklorida yohimbine) pada pasien dengan disfungsi ereksi. Tetapi menurut para ahli, obat ini tidaklah efektif, dan dapat menyebabkan jitteriness (sindrom kecemasan) dan masalah lainnya.

Terlebih lagi, bukti-bukti menunjukkan yohimbe terkait dengan hipertensi, gelisah, sakit kepala dan masalah kesehatan lainnya.

7. Tanduk kambing rumput liar

Tanduk kambing rumput liar konon telah menjadi pengobatan untuk disfungsi ereksi selama bertahun-tahun. Peneliti Italia menemukan bahwa senyawa utama dalam tanduk kambing rumput liar, yang disebut icariin, bereaksi dengan cara yang sama seperti obat-obatan Viagra.

8. Ginkgo biloba
Selain sebagai pengobatan penurunan kognitif, ginkgo juga telah digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi, khususnya yang disebabkan oleh penggunaan obat antidepresan tertentu.

Tetapi bukti tersebut tidak sangat meyakinkan. Satu studi yang dipublikasikan dalam Journal of Sex and Marital Therapy menemukan bahwa ginkgo tidak bekerja untuk disfungsi ereksi.

Namun, setiap perawatan dan pengobatan disfungsi ereksi yang dilakukan, para ahli mengatakan yang terpenting adalah makan makanan yang sehat dan hindari merokok serta alkohol. Selain itu, sikap bisa menerima pasangan masing-masing sangatlah dibutuhkan untuk meringankan beban si penderita disfungsi seksual.

Selasa, 20 April 2010

TBC Pada Anak Tidak Menular


Oleh: Merry Wahyuningsih [DetikHealth]

Tuberkulosis (TB atau TBC) adalah penyakit serius yang gampang menular secara langsung melalui udara. Anak-anak dengan kekebalan tubuh buruk paling rentan tertular dari orang dewasa yang positif TB. Tapi TB tidak menular antara sesama anak.

TB pada anak memang berbeda dengan TB pada orang dewasa. TB pada anak menginfeksi primer di parenkim paru yang tidak menyebabkan refleks batuk, sehingga jarang ditemukan gejala khas TB seperti batuk berdahak. Pada parenkim paru ini juga kuman cenderung lebih sedikit, maka TB tidak menular antara sesama anak.

"TB sangat mudah menular dari orangtua ke anak, tapi TB tidak menular dari anak ke anak," ujar Dr Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A, dokter spesialis anak RSUP Persahabatan, dalam acara Talkshow "Cegah Tuberkulosis Kebal Obat" di RSUP Persahabatan, Jakarta, Selasa (20/4/2010).

Gejala TB pada anak lebih susah didiagnosis karena bukan merupakan gejala khas TB.
Pada anak jarang ditemukan gejala batuk berdahak seperti yang diderita pada orang dewasa. Dan seringkali terjadi salah diagnosa, karena gejala yang dialami bisa juga merupakan gejala penyakit lain.

TB pada anak bisa ditandai dengan gejala-gejala seperti berikut:

1. Demam lama atau berulang, tapi tidak terlalu tinggi

2. Tidak ada nafsu makan (anoreksia)

3. Berat badan tidak naik-naik

4. Malnutrisi atau gangguan gizi

5. Multi L (lemah, letih, lesu, lelah, lemas letoy, loyo, lambat)

6. Batuk lama atau berulang, tetapi tidak berdahak (tapi seringkali ini merupakan gejala asma)

7. Diare berulang


Diagnosis TB pada anak tidak bisa dilakukan dengan uji dahak (sputum test), karena memang jarang pasien TB anak mengalami batuk berdahak. Selain itu, foto roentgen pada anak juga tidak bisa memberikan diagnosa yang tepat. Maka diperlukan uji Tuberkulin atau uji Mantoux.

Uji Tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah. Reaksi obat dapat dilihat 48 sampai 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB.

Untuk pengobatan TB pada anak menggunakan tiga macam obat, yaitu INH, Rifampicin dan Pirazinamide. Pemberian obat INH dan Rifampicin selama dua bulan, dan Pirazinamide selama empat bulan, sehingga minimal pemberian obat sama dengan orang dewasa, yaitu enam bulan.

Dr Tjatur juga menegaskan, ketika seorang anak sudah menderita TB aktif, maka seluruh anggota keluarga dan orang dewasa lain yang kontak dekat dengan si anak harus diperiksa untuk mencari sumber penularan dan segera diobati, agar rantai penularan dapat dihentikan sedini mungkin.

ANAK SD KURANG BUGAR


Sumber: Republika, Senin 19 April 2010

Kebugaran jasmani siswa sekolah dasar di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Padahal kebugaran jasmani akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang.

Berdasarkan survei yang dilakukan Prof Dr Suhardjana, guru besar baru bidang Ilmu Kesehatan OLahraga di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), diketahui bahwa 62,4 persen siswa SD status kebugaran jasmaninya kurang baik.
Status gizinya 19,6 persen gemuk dan gizi kurang ada 39,2 persen dan yang normal hanya 41,28 persen. Hal yang sama juga terjadi di Bali dari jumlah seluruh siswa SD di Propinsi tersebut diketahui 59,7 persen siswanya memiliki status kebugaran jasmani di bawah rata-rata.

"Penelitian yang sama juga pernah dilakukan Pusat Kualitas Jasmani Depdiknas tahun 2006 yang menunjukan bahwa hanya 6 persen dari seluruh siswa SD di Indonesia memiliki status kebugaran jasmani baik, 48 persen diantaranya statusnya kurang, 15 persen kurang sekali dan sedang hanya 31 persen saja." ujarnya dalam pidato pengukuhannya berjudul "Kebugaran dan Kesehatan bagi Kesuksesan Hidup Sepanjang Hayat".

Karenanya jika status kebugaran jasmani siswa itu digunakan sebagai indikator rendahnya status kebugaran jasmani masyarkat kondisi tersebut tidak mustahil berdampak pada problem kesehatan masyarakat. Pasalnya kata dia, berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung, diabetes melitus, dan ateriosclerosis atau penyakit kardiovaskuler lebih disebakan karena kurangnya kebugaran jasmani tersebut.

Senin, 19 April 2010

Penderita "Angin Duduk" Jangan Hanya Dikerok [Serangan Jantung] Akut]


Sumber; Republika, Sabtu, 17 April 2010

Smaller

Penyakit "Angin duduk" yang dikenal di masyarakat sebetulnya merupakan serangan jantung akut yang mengakibatkan sesak napas. Namun masyarakat menganggapnya masuk angin sehingga penderita hanya dikerok. Padahal seharusnya apabila ada orang yang mempunyai gejala seperti itu segera dibawa ke pelayananemergency terdekat.

Hal itu dikemukakan Spesialis Jantung RSUP Dr Sardjito dr Nahar Taufiq, SpJP(K) dalam presentasinya berjudul "Pelayanan Jantung RSUP Dr Sardjito Menuju Pelayanan Bertaraf Internasional" dalam rangka HUT RSUP Dr Sardjito ke-28, di Gedung Diklat RSUP Dr Sardjito, Sabtu (17/4).

''Gejala orang yang mengalami serangan jantung itu seperti sindrom masuk, banyak keluar keringat, dan harus duduk karena mengalami sesak napas. Sehinggga biasa disebut "angin duduk" dan hanya dikerok,'' kata dia.

Akibatnya, banyak pasien yang mengalami serangan jantung terlambat dibawa ke rumah sakit yaitu lebih dari 12 jam. Padahal seharusnya pasien yang mengalami serangan jantung harus segera dibawa ke rumah sakit kurang dari 12 jam agar penanganannya lebih optimal dan hasilnya lebih baik. Sebelum dibawa ke rumah sakit penderita yang mengalami serangan jantung bisa diberi obat aspirin 100-300 miligram dengan cara dikunyah.

Menurut Nahar, pasien jantung di RSUP Dr Sardjito terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, kasus baru serangan jantung akut atau Acute Coronary Syndrome (ACS) sebanyak 552 orang. Sekitar 20 persen dari kasus tersebut dibawa ke rumah sakit sudah lebih dari 12 jam dari onset serangan jantung (saat awal terjadi serangan jantung). Sedangkan di Singapura pasien serangan jantung akut yang dibawa ke rumah sakit lebih dari 12 jam hanya sekitar 16 persen.

Minggu, 18 April 2010

Titik Erotis di Tubuh Pria


Oleh: Fitri Yulianti [Okezone, Sabtu, 17 April 2010]

Tubuh pria memiliki banyak zona seks sensitif yang mampu melipatgandakan kepuasan seksual. Menyentuh dan menggoda zona tersebut dengan seluruh indra Anda akan membawa Anda berdua pada surga kenikmatan.

Gairah tersembunyi ini bahkan kerap tidak dimengerti pria atau kalaupun mengerti, mungkin ia tidak memberi Anda petunjuk agar Anda bisa menemukannya sendiri, lewat eksperimen. "Ini adalah beberapa tempat di tubuhnya yang sangat hot, sarat berisi saraf sensitif ketika dirangsang," kata Patti Britton PhD, seksolog klinis berbasis di Los Angeles dan penulis "The Complete Idiot's Guide to Sensual Massage".

Berikut, panduan untuk Anda mampu menggelitik saraf kenakalannya beserta serangan yang siap memicu gairahnya, seperti diulas Cosmopolitan.

Sisi luar bibir bagian bawah

Mulut pria adalah zona erangan yang nyata. Ciuman pada bagian antara bibir luar dan dagu bawahnya akan membawa kesenangan baginya. Sementara berciuman, hisap bibir bawahnya ke dalam mulut Anda. Gunakan pula ujung lidah ke atas dan ke bawah untuk menggodanya.

"Gerakan itu akan merangsang seluruh zona erotis dengan cara yang sangat menggoda, yang akan menempatkan dia pada garis erotis," kata Lou Paget, pendidik seks dan penulis “The Big O”. "Dan dengan menjaga bibir bawahnya dalam mulut Anda, Anda memperbesar sensasi itu, seakan-akan ada arus listrik yang menembak dari mulutnya langsung ke bagian tubuh sensitifnya yang lain,” tambahnya.

Bagian depan leher

Wanita cenderung fokus memainkan lidah di antara telinga pria, padahal ada titik rangsangan yang tak kalah hebat, yakni jakun. "Tiroid, kelenjar berbentuk kupu-kupu di tengah leher depannya, berhubungan erat dengan organ seks, menurut pengobatan Cina kuno," kata refleksiologis Master Mantak Chia sekaligus penulis “Seksual Reflexology”. Tambahkan kesenangan foreplay dengan jilatan membentuk lingkaran di jakunnya.

Di bawah pergelangan kaki

Telah dipelajari bahwa di tengah-tengah antara tumit dan tulang pergelangan kaki adalah titik yang memiliki potensi gairah seks yang besar, jelas Laura Norman, penulis “Feet First”. "Tempat ini terkait dengan organ seks. Menekan bagian ini akan melepaskan energi, menghasilkan perasaan senang," tambah Norman.

Lakukan percintaan dalam posisi woman on top sehingga Anda bisa mengendalikan titik di bawah pergelangan kakinya. Ketika Anda merasa pasangan semakin dekat dengan klimaks, cengkeram pergelangan kakinya dan tekan setiap titik nadi selaras dengan irama serangan Anda

Jumat, 16 April 2010

TV 3D Berbahaya Bagi Ibu Hamil, Lansia dan Pemabuk


Sumber: Fino Yurio Kristo - Detikinet

Era televisi 3D sudah di depan mata. Produsen besar seperti Samsung atau Panasonic mulai menggelontorkan televisi 3D andalan. Namun tampaknya tak semua orang bisa menikmati kedahsyatan televisi 3D.

Samsung Australia merilis panduan kesehatan khusus kala melihat televisi 3D. Khusus bagi ibu hamil,lansia, penderita penyakit serius atau mereka yang sedang mabuk disarankan tidak menonton televisi 3D Samsung demi alasan kesehatan. Anak-anak dan para remaja pun sebaiknya diawasi saat sedang menyaksikan tayangan televisi 3D.

Vendor asal Korea Selatan ini menyatakan, melihat video 3D antara lain dapat bikin pusing, disorientasi, atau mata lelah. Jika pemirsa merasa pening, sebaiknya berhenti dulu melihat televisi sampai sekitar satu setengah jam.

Cukup beralasan panduan itu dirilis. Seorang dokter di Amerika Serikat bernama Dr Norman Saffra menyatakan, masuk akal jika lansia, ibu hamil dan pemabuk tak boleh melihat 3D. Sebab mereka berisiko jatuh dan cedera karena pusing sesudah melihat tayangannya.

Lebih lanjut, Samsung juga menyarankan agar televisi 3D diletakkan di lingkungan yang aman untuk meminimalisir risiko. Meski sedikit berlebihan, panduan yang diberikan Samsung dinilai perlu sebagai tindak pencegahan.